STUDI KASUS
Oleh : dr. Kalferyl, Sp.OG
Kasus II:
Seorang wanita, 31 thn datang kepada dokter dan mengatakan ingin mempunyai keturunan setelah 3 x berturut – turut kehamilannya mengalami keguguran. Dari anamnesa diketahui riwayat menstruasi dan riwayat kehamilan sebelumnya yaitu menarche umur 12 thn, sejak menstruasi ada keluhan nyeri haid pada awal menstruasi namun gejala tersebut kadang timbul kadang tidak. Dapat diawali dengan keputihan sedikitnya selama 3 hari dan tidak banyak. Siklus menstruasi teratur tiap bulan selama 7 hari lamanya mens. Setiap menstruasi pasien mengaku mengalami anemia, yaitu mengeluh pusing dan lemas.
Pada saat hari pertama mens, terkadang vagina terasa berat dan nyeri hingga darah menstruasi keluar, selanjutnya perut terasa sakit dan sangat nyeri hingga terkadang minum obat penahan nyeri (analgetik) yaitu asam mefenamat.
Namun pada hari kedua setelah minum obat biasanya darah mens yang keluar agak sedikit, dan baru pada hari ketiga langsung keluar banyak. Pasien pernah diperiksa kemungkinan adanya kista dan myoma uteri, namun hasilnya tidak ditemukan apa – apa.
Saat kehamilan yang pertama 4 tahun yang lalu pada tanggal 15 Juli 2008, usia kehamilan mencapai 14 minggu dan setelah berpergian dari luar kota dengan stressor pekerjaan yang tinggi, esok harinya pasien mengeluh perut mules disertai diare dan batuk terus menerus. Sore harinya keluar flek – flek darah dari vagina dan langsung periksa ke dokter kandungan untuk selanjutnya periksa laboratorium. Hasil laboratorium menunjukkan pasien terinfeksi virus toxoplasma dengan kadar IgG dan IgM toxoplasma yang tinggi, IgG anti Rubella dan IgG anti HSV-2 juga tinggi.
Dokter menyarankan untuk tidak mempertahankan kehamilan dan langsung di kuret pada tanggal 21 Oktober 2008 karena darah yang keluar semakin banyak. Setelah di kuret mendapat terapi obat untuk infeksi toxoplasma dan diminum selama 2 bulan. Disarankan oleh dokter untuk tidak hamil dulu hingga kadar IgG dan IgM toxoplasma nya rendah. Pada kehamilan kedua berjarak 5 bulan dari kehamilan pertama tanggal 3 Maret 2009, juga usia kehamilan hanya bertahan 3 sampai 4 minggu dengan menunjukkan gejala yang sama, Keluar darah sedikit kemudian langsung banyak dan diperiksa laboratorium masih menunjukkan kadar infeksi yang tinggi dari toxoplasma. Namun sempat diberikan obat penguat kandungan oleh dokter yang memeriksanya, sebelum akhirnya dikuret juga pada tanggal 1 April 2009.
Suami dari pasien juga telah diperiksa kondisi kesuburannya dari sperma, hasilnya tidak menunjukkan tanda kemandulan ataupun infertilitas.
Selama 1 tahun pasien berusaha untuk tidak hamil dan sempat memeriksakan diri ke laboratorium, diketahui kadar IgG dan IgM toxoplasma masih tinggi. Serta pasien melakukan Pap smear pada dokter kandungan dan tidak menderita infeksi seksual pada rahim ataupun vaginanya. Sedangkan kehamilan ketiga pada tanggal 15 Juni 2011, berjarak 2 tahun dari kehamilan kedua dengan usia kehamilan 7 sampai 8 minggu. Mengalami gejala yang sama dan periksa ke dokter, disarankan untuk dipertahankan setelah pemeriksaan laboratorium menujukkan kadar IgG toxoplasma sudah menurun walaupun masih positif terinfeksi dan kadar IgM toxoplasma negative. Pasien juga telah di USG namun memberikan hasil gambaran seperti gumpalan daging tanpa menyerupai janin. Selang 1 - 2 hari ternyata keluar darah banyak dan langsung di kuret pada tanggal 7 Agustus 2011.
Berjarak 1 tahun setelah kehamilan ketiga, pasien kembali memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan dan disarankan untuk melakukan pemeriksaan ACA. Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien tidak menderita penyakit tersebut dengan kadar IgG dan IgM ACA negative. Akhirnya pasien mengaku trauma untuk hamil lagi, namun berbagai dorongan dan support keluarga juga konsultasi dengan dokter menyarankan pasien untuk dikonsulkan kepada para dokter spesialis kandungan di Surabaya.
Hingga sekarang tahun 2012 ini pasien belum pernah kontrol atau konsultasi lagi.
PEMBAHASAN
Dari kasus tersebut, dapat diketahui berbagai hal yang berkaitan dengan faktor – faktor pencetus abortus habitualis, diantaranya adalah :
- Aktivitas tinggi yang menyebabkan kelelahan dan kemungkinan beban pekerjaan sabagai stressor psikologis pada saat kehamilan dapat mempengaruhi keadaan fisik ibu yang menurun maupun kondisi janin yang masih dalam trimester I sangat rentan terhadap berbagai pengaruh dari luar.
- Penyakit anemia yang diderita pasien kemungkinan besar menambah pengaruh buruk pada faktor nutrisi ibu yang selanjutnya mengganggu persediaan zat – zat makanan dan suplai oksigen untuk janin yang sedang tumbuh.
- Adanya infeksi virus yang sering menyebakan terjadinya abortus, ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu pada kehamilan pertama terdapat kadar IgG toxoplasma, anti rubella, anti HSV-2 positif dan IgM toxoplasma juga tinggi. Diketahui peranan faktor infeksi virus toxoplasma lebih dominan dari virus lainnya.
Faktor –faktor lainnya yang diharapkan menjadi pencetus abortus habitualis justru tidak ditemukan, seperti adanya
· myoma uteri yang mungkin diderita pasien,
· infeksi seksual pada rahim atau vaginanya dan juga
· kadar IgG, IgM ACA yang menunjukkan hasil negative, sehingga penderita tidak mengalami APS yang sering menyebabkan abortus berulang.
· Suami dari pasien juga tidak menunjukkan tanda – tanda infertilitas.
Kasus tersebut perlu pemeriksaan lebih intensif lagi mengingat belum adanya test – test kehamilan lainnya, contohnya :
· pemeriksaan kadar hormone TSH dan antibody anti thyroid,
· biopsy endometrium pada fase luteal,
· kariotipe pada janin yang telah dikeluarkan, serta
· pemeriksaan lupus antikoagulan seperti apartial thromboplastin time atau russel viper venom.
Oleh sebab itu pasien dianjurkan untuk konsul kepada dokter ahli di kota besar. Penting untuk diperhatikan bahwa tanpa adanya faktor infeksi dari virus toxoplasma saat kehamilan ketiga dari pasien dan tanpa terjadinya APS dalam diri pasien, belum tentu menjamin pasien telah aman.
Menjadi seorang wanita karier tidak saja mengejar keinginan diri menjadi sukses dalam pekerjaan tetapi… baiknya disertai juga dalam kehidupan pribadi membangun rumah tangga yang kuat dan sehat bersama-sama dengan pasangan atau suami.
ABORTUS HABITUALIS
DEFINISI :
Abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin mampu hidup diluar kandungan. Batasan abortus adalah umur kehamilan kurang dari 20 minggu dan berat janin kurang dari 500 gram (Greenhill, 1965).
Istilah abortus habitualis sendiri menjelaskan bahwa abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih (Cunningham dkk., 2000). Dimana janin tidak dapat berkembang dengan baik atau abnormal (teratogen) sehingga terjadi keguguran.
ETIOLOGI :
Faktor – faktor penyebab abortus habitualis sangat banyak, sehingga penting untuk memikirkan adanya penyebab dasar yang mengakibatkan peristiwa abortus berulang ini, dimana kurang lebih 40% tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan penyebab abortus habitualis yang dapat dijelaskan , selain dari 40% penyebab dasar yang tidak diketahui, dapat dibagi dalam 3 golongan:
- Kelainan pada zygote
- Gangguan fungsi atau malfungsi endometrium, yang menyebabkan gangguan implantasi ovum yang dibuahi dan atau gangguan dalam pertumbuhan mudigah.
- Kelainan anatomik pada uterus yang dapat menghalangi berkembangnya janin di dalamnya dengan sempurna.
Pendapat lainnya hadir atas dasar ketiga faktor yang mendasari penyebab abortus habitualis saat ini dapat juga dikemukakan oleh para dokter ahli menjadi satu dengan dengan penyebab abortus spontan, yaitu :
1. Faktor Fetal
Penelitian menunjukkan sekitar duapertiga kasus dari abortus spontan pada trimester I merupakan anomali kromosom dengan setengah dari jumlah kasus tersebut adalah trisomy autosom dan sebagian lagi merupakan triploidi, tetraploidi, atau monosomi 45X.
2. Faktor Maternal
A. Faktor Endokrin
- diabetes mellitus tak terkontrol
- hipotiroid dan hipertiroid
- hipersekresi Luteinezing Hormon (LH)
- insufisiensi korpus luteum atau disfungsi fase luteal
- penyakit polikistik ovarium
- hiperandrogenemia dan hiperprolaktinemia
B. Faktor Anatomi
1. Kelainan bawaan (anomaly) pada uterus : uterus bikornis, uterus subseptus, hipoplasia uteri
2. Defek uterus yang didapat (aquired) seperti : Astherman’s syndrome, laserasi serviks uteri yang luas, defek sekunder terhadap dietilestilbestrol, leiomyoma yang berjenis submukus khususnya dan inkompetensia serviks uteri serta retroversio uteri gravidi.
C. Faktor Plasenta
Ketidakmampuan plasenta menghasilkan progesterone sesudah korpus luteum atrofi, dimana dapat dibuktikan dengan mengukur kadar pregnandiol dalam urin.
D. Faktor Immunologi
1. Pembentukan antibody antiparental dari janin, inkomptabilitas golongan darah A, B, O, reaksi antigen-antibodi yang menyebabkan pelepasan histamine
2. Antibodi antifosfolipid, antibodi antinuclear, aktivasi sel B poliklonal, serta inkomptabilitas Rhesus.
E. Faktor Trombofilia
1. APS ( Anti Phospholypid Syndrome ) dapat mengakibatkan terbentuknya ACA (Anti Cardiolipyn Antibody).
2. faktor V Leiden
3. defisiensi protein antikoagulan dan antitrombin
4. hiperhomosistinemia
5. mutasi genetik protrombin
6. mutasi homozigot pada gen metileneterhidrofolat reduktase
F. Faktor Infeksi
1. Infeksi menahun seperti Lues dan Mikoplasma hominis
2. Syphilis, parvovirus B19, HIV, dan malaria
3. Lysteria monocytogenes
4. Toxoplasma
5. penyakit Brusellosis
G. Faktor Eksogen
· Anemia yang berat
· Umur sperma atau ovum
· Nitrat oksida dan gas – gas anestesi lain
· kadar bromida yang tinggi pada air permukaan alkohol, merokok, tidak biasa membersihkan alat kelaminnya dengan sempurna dan kehidupan seksnya yang tidak sehat seperti berganti – ganti pasangan
1. Faktor Psikologis Ibu
· Meminimalisir stressor kehamilan tergantung pada usia, pendidikan, maturitas, kepribadian, pengalaman kehamilan dan persalinan sebelumnya, dan keadaan social ekonomi.
· Hobi tertentu yang senang memelihara hewan terutama kucing, senang makan daging setengah matang atau tidak matang penuh (well done), serta senang makan sayuran namun kurang mencucinya bersih-bersih hingga masih ada kemungkinan sisa pestisida yang ada
2. Faktor Paternal
· Terjadinya translokasi kromosom dalam sperma dapat menghasilkan zygote yang mendapat bahan kromosom terlalu sedikit atau terlalu banyak, sehingga terjadi abortus (Cunningham, 2000).
· Dan lain-lain.
PATOFISIOLOGI
1. Abortus biasanya disertai perdarahan di dalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan – jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan,sehingga ovum terlepas seluruhnya atau sebagian dan menjadi benda asing dalam uterus, merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin. Patofisiologi yang sama juga terjadi berulang kali pada kasus abortus habitualis.
2. UK < 10 minggu, hasil konsepsi biasanya akan dikeluarkan lengkap à villi khoriales belum menanamkan diri dengan erat ke dalam desidua.
UK =8 - 14 minggu, villi khoriales menembus desidua lebih dalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan secara sempurna yang dapat menyebabkan banyak perdarahan.
UK =14 minggu ke atas, umumnya ketuban pecah dan lahirlah janin, disusul beberapa waktu kemudian oleh plasenta yang telah terbentuk sempurna. Perdarahan tidak banyak keluar jika plasenta segera terlepas dengan lengkap (Wibowo dan Wiknjosastro, 1999). Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai bentuk. Adakalanya kantong amnion kosong atau tampak di dalamnya benda kecil tanpa bentuk yang jelas seperti gumpalan disebut blighted ovum , mungkin juga janin lahir mati atau dilahirkan langsung yang disebut abortus spontan intoto.
MANIFESTASI KLINIS
Amenorrhea <20 minggu, perdarahan pervaginam mungkin disertai keluarnya jaringan hasil konsepsi, dan juga rasa mules atau kram perut di daerah symphisis, sering disertai nyeri pinggang akibat kontraksi uterus. Perlu perhatian khusus bila seorang wanita hamil mengalami gejala – gejala tersebut berulang dan terus terjadi pada setiap kehamilannya.
DIAGNOSIS
Tentukan kehamilan muda :
1. pemeriksaan bimanual
2. tes kehamilan secara biologis ( Galli Mainini )
3. immunologi ( Pregnosticon, Gravindex )
· Diagnosis abortus habitualis sendiri tidak sukar ditentukan dengan anamnesis, khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia serviks. Pada umumnya menunjukkan gambaran klinis yang khas yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mules, ketuban menonjol dan pada suatu saat akan pecah. Kemudian timbul mules diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup.
· Hal lainnya yang harus diperhatikan adalah macam dan banyaknya perdarahan apabila wanita abortus habitualis mengalami perdarahan profus sebelum pengeluaran janin maupun jaringan bakal janin dari kavum uterus atau dari dalam vagina.
KOMPLIKASI
- Perdarahan
- Perforasi
- Infeksi
- Syok
MANAJEMEN PENATALAKSANAAN
1. Riwayat penyakit dahulu :
· Kapan abortus terjadi (trimester-I / trimester berikutnya), dan adakah penyebab mekanisnya.
· Mencari adanya toksin, lingkungan & obat terlarang.
· Infeksi ginekologi dan obstetric yang umumnya secara kronis
· Gambaran asosiasi terjadinya Anti Phospholipid Syndrome (APS) yaitu adanya trombosis, fenomena autoimun, false positive test untuk syphilis.
· Faktor genetika antara suami isteri (consanguinity)
· Riwayat keluarga yang pernah mengalami abortus berulang dan sindroma berkaitan kejadian abortus ataupun partus prematurus yang kemudian meninggal.
· Pemeriksaan diagnostik terkait yang pernah dilakukan dan pengobatan yang pernah didapat.
2. Pemeriksaan fisik :
· Pemeriksaan fisik secara umum ( gizi, bentuk badan)
· Pemeriksaan suami isteri = pemeriksaan darah - urin rutin, pemeriksaan golongan darah, faktor Rhesus, test syphilis, isteri dibuat kurva harian glukosa darah, suami diperiksa kondisi spermanya.
Selidiki adanya kelainan anatomi pada traktus genital ibu baik bawaan atau setelah melahirkan.
Pemeriksaan ginekologi yang dilakukan :
a. Inspeksi vulva = melihat perdarahan pervaginam, jaringan hasil konsepsi,tercium bau busuk dari vagina.
b. Inspekulo = melihat perdarahan dari cavum uteri, melihat apakah ostium uteri terbuka / tertutup (laserasi serviks uteri), adanya jaringan keluar dari ostium, ada jaringan berbau busuk dari ostium uteri.
c. Vaginal toucher = memeriksa portio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba/tidak jaringan dalam cavum uteri, teraba massa/tidak dalam cavum uteri seperti myoma uteri, apakah besar uterus sesuai / lebih kecil dari usia kehamilan, tidak nyeri saat portio digoyang, tidak nyeri pada perabaan adneksa, cavum douglas tidak menonjol dan tidak nyeri.
3. Pemeriksaan penunjang dan laboratorium yang diperlukan :
· Tes kehamilan, positif bila janin masih hidup.
· Kariotik darah tepi kedua orang tua
· Histerosalpingografi untuk mengetahui ada tidaknya pada uterus myoma uteri submukosa, uterus septus, inkompetensia serviks uteri dan congenital anomaly.
· Diikuti dengan histeroskopi atau laparoskopi bila ada indikasi.
· Uji hapusan Paps (pap smear) untuk mendeteksi adanya infeksi di sekitar vagina dan rahim.
· Biopsi endometrium pada saat fase luteal.
· Pemeriksaan hormon TSH dan antibody anti thyroid melalui BMR dan kadar iodium darah diukur untuk mengetahui ada tidaknya gangguan glandula thyroid.
· Antibodi antifosfolipid seperti Cardiolipin (ACA) dan fosfatidilserin.
· Lupus antikoagulan seperti Apartial Thromboplastin Time atau Russel Viper Venom.
· Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit, titer antibody Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan HSV-2, juga golongan darah dan faktor rhesus (Rh).
· Kultur cairan serviks untuk mengetahui infeksi mycoplasma, ureaplasma, chlamydia, bila diperlukan.
PENGOBATAN
- Support psikologis
- Kenali kemungkinan terjadinya APS (Anti Phospholipid Syndrome)
- Mencegah terjadinya infeksi intrauterine
- Pemeriksaan kadar Beta HCG secara periodik
- Gold standard untuk monitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan USG, dikerjakan setiap dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami abortus.
- Pemeriksaan serum Alfa-fetoprotein pada usia kehamilan 16 -18 minggu. Pemeriksaan kariotip buah kehamilan : amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya kehamilan.
- Bila belum terjadi kehamilan : pengobatan memperbaiki kualitas sel telur atau spermatozoa, kelainan anatomi rahim ibu, kelainan endokrin, adanya berbagai infeksi (TORCH, Chlamydia, mikoplasma), dan berbagai variasi hasil pemeriksaan reaksi immunologi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar