BAB I
PENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
Dalam profesi kedokteran ini bukan hal yang baru tetapi Informed consent merupakan piranti hukum kedokteran yang sangat rumit untuk dipahami, diterapkan dan menjadi alat bukti kesepahaman pasien-penolong.
Penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia di bidang kedokteran atau patient rights, ditetapkan sebagai salah satu kewajiban etik yang harus dipatuhi oleh setiap warga profesi kedokteran. Dalam rumusan Kode Etik Kedokteran Internasional yang telah disahkan oleh Sidang Umum Organisasi Kedokteran Dunia (World Medikal Assembly) tahun 1949. Sesuai juga dengan perkembangan reformasi kehidupan masyarakat, maka Informed consent yang semula lebih terkait pada kewajiban etik, telah berkembang menjadi kewajiban administrasi dan bahkan hukum. 1
PERSETUJUAN
Persetujuan Tindakan Medik atau Informed consent dalam profesi kedokteran adalah persetujuan dari pasien terhadap tindakan medik yang akan dilakukan terhadap dirinya. Persetujuan diberikan setelah pasien tersebut diberikan penjelasan yang lengkap dan objektif tentang diagnosis penyakit, upaya penyembuhan, tujuan dan pilihan tindakan yang akan dilakukan. 1
Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit khususnya yang mempunyai hubungan langsung dengan pasien adalah dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lainnya. Dalam hal melakuakn tindakan medis, yang adalah suatu tindakan yang bersifat diagnostik/terapeutik (menentukan jenis penyakit / penyembuhannya) yang dilakukan terhadap pasien, dokter akan berusaha semaksimal mungkin menjalankan tugas dan kewajiban memberikan pertolongan penyembuhan bagi pasien berdasarkan ilmu pengetahuan, kemampuan, dan kompetensi yang dimilikinya.
Dokter yang ingin melakukan tindakan medis atau operasi terlebih dahulu harus memberikan informasi mengenai tindakan apa yang akan dilakukan, apa manfaatnya, apa resikonya, alternatif lain (jika ada), dan apa yang mungkin terjadi apabila tidak dilakukan tindakan medis atau operasi tersebut. Keterangan ini harus diberikan secara jelas dalam bahasa yang sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien dan memperhitungkan tingkat pendidikan dan intelektualnya.1 Tindakan medis yang dilakukan oleh dokter tanpa persetujuan sah karena pasien tidak memperoleh keterangan yang lengkap dan benar dapat mengakibatkan seorang dokter dapat digugat di pengadilan.
Dalam dunia kedokteran masa kini informasi merupakan hak asasi pasien karena berdasarkan informasi itulah pasien dapat mengambil keputusan tentang suatu tindak medis yang dilakukan terhadap dirinya. Di pihak lain, memberikan informasi secara benar kepada pasien merupakan kewajiban pokok seorang dokter yang sedang menjalankan profesinya. Selain berkaitan dengan masalah hukum, informasi ini juga berkaitan dengan masalah etika, moral, serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Dahulu hubungan dokter dengan pasiennya lebih bersifat paternalistik, yaitu pasien taat dan menurut saja terhadap dokternya tanpa bertanya lagi. Pada masa kini hubungan yang demikian sudah tidak mendapat tempat lagi karena masyarakat telah semakin sadar atas hak-haknya untuk menentukan nasibnya sendiri. Banyak informasi kedokteran praktis yang dahulunya merupakan “monopoli” kalangan kedokteran, sekarang telah diketahui dan dipahami oleh masyarakat luas. Jadi pasien berhak mengetahui apa yang hendak dilakukan dokter terhadap dirinya. Karena ia tahu bahwa semua akibabt yang timbul dari tindakan medis oleh dokter pada hakikatnya ditanggung sepenuhnya oleh pasien sendiri.
Persetujuan yang diberikan oleh pasien ataupun keluarganya atas dasar informasi dan penjelasan mengenai tindakan medis apa yang akan dilakukan terhadap pasien disebut dengan informed consent. Informed consent itu sendiri sangat erat kaitannya dengan tindakan medis yang artinya adalah suatu transaksi untuk menentukan atau upaya untuk mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang dilakukan oleh dokter. Sehingga hubungan antara informed consent dan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter dapat dikatakan bahwa informed consent merupakan komponen utama yang mendukung adanya tindakan medis tersebut. Karena persetujuan yang diberikan secara sukarela yang diberikan oleh pasien dengan menandatangani informed consent adalah merupakan salah satu syarat subjektif untuk terjadinya / sahnya suatu perjanjian yaitu “sepakat untuk mengikatkan diri”. Dalam hal ini perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian untuk melakukan tindakan medis antara dokter dengan pasien.
Tujuan dari informed consent ini sendiri adalah :
1. Bagi pasien adalah untuk menentukan sikap atas tindakan medis yang mengandung resiko atau akibat yang bakal tidak menyenangkan pasien.
2. Bagi dokter adalah sebagai sarana untuk memperoleh legitimasi (pengesahan) atas tindakan medis yang akan dilakukan.
Yang berakibat terciptanya suatu hubungan hukum antara dokter dengan pasien.
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan medis dapat menjadi tiga bentuk, yaitu:
1. Persetujuan tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien memperoleh informasi yang kuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent).
2. Persetujuan lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak pasien.
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap dirinya.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (PerMenKes) no. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan bahwa Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut (pasal 1 ayat a). Adapun yang menjadi dasar hukum terjadinya informed consent yaitu :
· Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 4 ayat 1, informasi diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta.
· Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 2 ayat 2, semua tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
· Peraturan Menteri Kesehatan No. 585 tahun 1989 Pasal 13, apabila tindakan medik dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin prakteknya.
Dimana dalam hal ini dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan wajib melakukan segala tugas dan kewajibannya untuk kepentingannya pasien dengan segala kompetensi, tanggung jawab dan kode etik yang ada. Sedangkan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan wajib mematuhi segala apa yang disarankan oleh dokter demi terlaksananya kesembuhannya.
Informed consent tidak boleh menjadi penghambat atau penghalang bagi dilakukannya suatu tindakan medis terhadap pasien dalam keadaan memaksa atau gawat darurat, dalam hal ini seorang dokter dapat melakukan tindakan terbaik menurutnya. Dalam keadaan seperti ini pasien dapat memberi consent yang disebut implied consent yaitu persetujuan yang dianggap diberikan oleh pasien tanpa dinyatakan tetapi dapat ditarik kesimpulan dari sikap dan tindakan pasien yang bersangkutan yang menyiratkan suatu persetujuan
2.1. TUJUAN PENULISAN
Suatu tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan. Persetujuan diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang pentingnya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya.
Cara penyampain dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
Setiap tindakan medik yang mengandung resiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan. Tindakan medik yang tidak berisiko tinggi tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan yang dapat diberikan secara nyata-nyata atau secara diam-diam.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pengertian
Secara harfiah Consent artinya persetujuan, atau lebih ‘tajam’ lagi, ”izin”. Jadi Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan sebagainya. Selanjutnya kata Informed terkait dengan informasi atau penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain Informed consent adalah Persetujuan Setelah Penjelasan.
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 585 Tahun 1989, Persetujuan Tindakan Medik adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medic yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Pengaturan Informed consent
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur dalam :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan Penjelasannya.
3. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI).
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis.
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1419/Men.Kes/Per/X/2005 tentang Penyelanggaraan Praktik Kedokteran.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 Tentang Tenaga Kesehatan.
7. Surat Keputusan PB IDI No 319/PB/A4/88.
Adapun pernyataan IDI tentang informed consent tersebut adalah:
a. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
b. Semua tindakan medis (diagnotik, terapeutik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
c. Setiap tindakan medis yang mempunyai risiko cukup besar, mengharuskanadanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta risikonya.
d. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
e. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberi informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat / paramedik lain sebagai saksi adalah penting.
f. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostik, terapeutik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis.
Bentuk Informed consent
Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1. Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2. Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang bersifat invasive dan mengandung resiko, dokter sebaiknya mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
Penjelasan tentang Informed consent
Hakikat Informed consent mengandung 2 (dua) unsur esensial yaitu :
1. Informasi yang diberikan oleh dokter;
2. Persetujuan yang diberikan oleh pasien.
Sehingga persetujuan yang diberikan oleh pasien memerlukan beberapa masukan sebagai berikut :
1. Penjelasan lengkap mengenai prosedur yang akan digunakan dalam tindakan medis tertentu (masih berupa upaya percobaan).
2. Deskripsi tentang efek-efek sampingan serta akibat-akibat yang tidak diinginkan yang mungkin timbul.
3. Deskripsi tentang keuntungan-keuntungan yang dapat diantisipasi untuk pasien.
4. Penjelasan tentang perkiraan lamanya prosedur / terapi / tindakan berlangsung.
5. Deskripsi tentang hak pasien untuk menarik kembali consent tanpa adanya prasangka mengenai hubungannya dengan dokter dan lembaganya.
6. Prognosis tentang kondisi medis pasien bila ia menolak tindakan medis tersebut.
Informasi yang harus diberikan oleh dokter dengan lengkap kepada pasien menurut UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pasal 45, ayat (3) sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis ( kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.
Sebaiknya, diberikan juga penjelasan yang berkaitan dengan pembiayaan.
Penjelasan seharusnya diberikan oleh dokter yang akan melakukan tindakan medis itu sendiri, bukan oleh orang lain, misalnya perawat. Penjelasan diberikan dengan bahasa dan kata-kata yang dapat dipahami oleh pasien sesuai dengan tingkat pendidikan dan ‘kematangannya’, serta situasi emosionalnya. Dokter harus berusaha mengecek apakah penjelasannya memang dipahami dan diterima pasien. Jika belum, dokter harus mengulangi lagi uraiannya sampai pasien memahami benar. Dokter tidak boleh berusaha mempengaruhi atau mengarahkan pasien untuk menerima dan menyetujui tindakan medis yang sebenarnya diinginkan dokter.
Pada hakikatnya Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya.
Tujuan penjelasan yang lengkap adalah agar pasien menentukan sendiri keputusannya sesuai dengan pilihan dia sendiri (informed decision). Karena itu, pasien juga berhak untuk menolak tindakan medis yang dianjurkan. Pasien juga berhak untuk meminta pendapat dokter lain (second opinion), dan dokter yang merawatnya.
Yang berhak memberikan persetujuan atau menyatakan menolak tindakan medis pada dasarnya, pasien sendiri jika ia dewasa dan sadar sepenuhnya. Namun, menurut Penjelasan Pasal 45 UU Nomor 29 Tahun 2004 tersebut di atas, apabila pasien sendiri berada di bawah pengampuan, persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh keluarga terdekat, antara lain suami/isteri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung atau saudara-saudara kandung. Dalam keadaan gawat darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan. Namun, setelah pasien sadar atau dalam kondisi yang sudah memungkinkan, segera diberikan penjelasan dan dibuat persetujuan.
Informed consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat. Dalam bahasa aslinya, yang terakhir ini dinamakan implied consent. Untuk tindakan medis dengan risiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus secara tertulis, ditandatangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya juga saksi dari pihak keluarga.
Fungsi dan Tujuan Informed consent
Fungsi dari Informed consent adalah :
1. Promosi dari hak otonomi perorangan;
2. Proteksi dari pasien dan subyek;
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi terhadap diri sendiri;
5. Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Informed consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi
tiga, yaitu:
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis.
c. Yang bertujuan untuk terapi.
Tujuan dari Informed consent menurut J. Guwandi adalah :
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasien;
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.
Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien. Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam PerMenKes Nomor 585/PerMenKes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter, khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal, ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi.
Tindakan malpraktek dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut :
1. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi dokter tetap melakukan tindakan tersebut.
2. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
3. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan risiko dan akibat dari tindakan medis yang diambilnya.
4. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.
Akibat Yang Ditimbulkan Dari Adanya Informed consent
Akibat hukum dari dilakukannya perjanjian tertuang di dalam Pasal 1338 dan 1339 KUHPerdata, sebagai berikut : Pasal 1338 : Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Pasal 1339 : Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undangundang.
Dari kedua pasal tersebut dapat diambil pengertian sebagai berikut :
1. Perjanjian terapeutik berlaku sebagai undang-undang baik bagi pihak pasien maupun pihak dokter, dimana undang-undang mewajibkan para pihak memenuhi hak dan kewajibannya.
2. Perjanjian terapeutik tidak dapat ditarik kembali tanpa kesepakatan pihak lain.
3. Kedua belah pihak, baik dokter maupun pasien harus sama-sama beritikad baik dalam melaksanakan perjanjian terapeutik.
4. Perjanjian hendaknya dilaksanakan sesuai dengan tujuan dibuatnya perjanjian yaitu kesembuhan pasien, dengan mengacu pada kebiasaan dan kepatutan yang berlaku dalam bidang pelayanan medis maupun dari pihak kepatutan pasien.
Kapan Dibutuhkan Persetujuan Tertulis
Informed consent adalah suatu persetujuan mengenai akan dilakukannya tindakan kedokteran oleh dokter terhadap pasiennya.
Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis. Pada hakikatnya Informed consent adalah suatu proses komunikasi antara dokter dan pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter terhadap pasien (ada kegiatan penjelasan rinci oleh dokter), sehingga kesepakatan lisan pun sesungguhnya sudah cukup. Penandatanganan formulir Informed consent secara tertulis hanya merupakan pengukuhan atas apa yang telah disepakati sebelumnya. Formulir ini juga merupakan suatu tanda bukti yang akan disimpan di dalam arsip rekam medis pasien yang bisa dijadikan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi kontrak terapeutik antara dokter dengan pasien. Pembuktian tentang adanya kontrak terapeutik dapat dilakukan pasien dengan mengajukan arsip rekam medis atau dengan persetujuan tindakan medis (informed consent) yang diberikan oleh pasien. Bahkan dalam kontrak terapeutik adanya kartu berobat atau dengan kedatangan pasien menemui dokter untuk meminta pertolongannya, dapat dianggap telah terjadi perjanjian terapeutik.
Persetujuan tertulis dalam suatu tindakan medis dibutuhkan saat :
1. Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut resiko atau efek samping yang bermakna.
2. Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3. Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan sosial pasien.
4. Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
Saat Timbul dan Berakhirnya Hubungan Pasien-Dokter
Saat timbulnya perjanjian antara dokter dan pasien adalah pada saat pasien meminta seorang dokter untuk mengobatinya dan dokter menerimanya.
Berakhirnya hubungan dokter-pasien dapat dilakukan dengan cara :
1. Sembuhnya pasien dari keadaan sakitnya dan sang dokter menganggap tidak diperlukan lagi pengobatan. Penyembuhan tidak usah sampai total namun melihat keadaan pasien tidak usah memerlukan lagi pelayanan medik.
2. Dokter mengundurkan diri, dengan syarat :
a. Pasien menyetujui pengunduran diri tersebut.
b. Kepada pasien diberikan waktu cukup dan pemberitahuan sehingga ia bisa memperoleh pengobatan dari dokter yang lain.
c. Jika dokter merokemendasikan kepada dokter lain yang sama kompetensinya untuk menggantikan dokter semula itu dengan persetujuan pasiennya.
3. Pengakhiran oleh pasien. Seorang pasien bebas untuk mengakhiri pengobatannya dengan dokternya. Apabila diakhiri maka sang dokter berkewajiban untuk memberikan nasihat apakah masih diperlukan pengobatan lanjutan dan memberikan informasi yang cukup kepada penggantinya sehingga pengobatan dapat diteruskan oleh penggantinya. Apabila dokter memakai seorang dokter lain maka dianggap bahwa dokter yang pertama telah diakhiri hubungannya, kecuali diperjanjikan bahwa mereka akan mengobati bersama atau dokter kedua hanya dipanggil untuk konsultasi tujuan khusus. (J. Guwandi, 2003)
4. Meninggalnya si pasien.
5. Meninggalnya si dokter atau ia sudah tidak mampu lagi menjalani profesinya sebagai dokter.
6. Sudah selesainya kewajiban dokter seperti ditentukan dalam kontrak.
7. Dalam kasus gawat darurat, apabila dokter yang mengobati atau dokter pilihan pasien sudah datang atau terdapat penghentian keadaan kegawat-daruratannya.
8. Lewatnya jangka waktu, apabila kontrak medik itu ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
9. Persetujuan kedua belah pihak bahwa hubungan dokter-pasien itu sudah diakhiri.
Konsep Baku Persetujuan Tindakan Medis
Istilah perjanjian baku dialihbahasakan dari istilah yang dikenal dari bahasa Belanda, yaitu standaart contract atau standaart voorwarden.
Hukum Inggris menyebut perjanjian baku sebagai standa dized contrac, standaart form of contract. Adapun definisi yang diberikan oleh Darus Mariam Badrulzaman mengenai perjanjian baku adalah : “Perjanjian yang isinya baku dan diberikan dalam bentuk formulir”. (22 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung , 1993, Hal. 35).
Dari pengertian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perjanjian baku mengandung pengertian yang lebih sempit dari perjanjian pada umumnya atau merupakan bentuk perjanjian tertulis yang isinya telah dibakukan atau distandarisasi dan umumnya telah dituangkan dalam bentuk formulir atau bentuk perjanjian lain yang sifatnya tertentu.
Pada prakteknya, perjanjian baku tumbuh sebagai perjanjian tertulis dalam bentuk formulir. Pembuatan perjanjian sejenis yang selalu terjadi berulang-ulang dan teratur serta melibatkan banyak orang, menimbulkan kebutuhan untuk mempersiapkan isi perjanjian terlebih dahulu dan kemudian dibakukan lalu dicetak dalam jumlah banyak sehingga setiap saat mudah didapat jika dibutuhkan.
Perjanjian baku isinya dibuat secara sepihak, dalam arti salah satu pihak telah menentukan isi dan bentuk perjanjian pada satu bentuk pembuatannya, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam perjanjian baku ada ketidakseimbangan kedudukan para pihak, karena pihak yang tidak membuat perjanjian baku ini biasanya hanya bisa bersikap menerima atau menolak keseluruhan isi perjanjian dan tidak dimungkinkan untuk merubah isi perjanjian tersebut.
Perjanjian baku mempunyai ciri-ciri yang membedakannya dengan bentuk-bentuk perjanjian bernama lainnya, yakni :
1. Isinya ditetapkan oleh pihak yang lebih kuat.
2. Pihak lain yang biasanya adalah masyarakat, sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.
3. Terdorong kebutuhannya, pihak lain terpaksa menerima isi perjanjian.
4. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan kolektif.
Bentuk persetujuan tindakan medis pada umumnya telah disusun sedemikian rupa sehingga pihak dokter dan Rumah Sakit tinggal mengisi kolom yang disediakan untuk itu setelah menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien. Sebelum ditandatangani, sebaiknya surat tersebut dibaca sendiri atau dibacakan oleh yang hadir terlebih dahulu. Pasien seharusnya diberikan waktu yang cukup untuk menandatangani persetujuan dimaksud.
2. TINJAUAN YURIDIS TERHADAP FORMULIR PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIK
SEBELUM DILAKUKANNYA OPERASI BESAR.
1.Ketentuan Perundangan Yang Menjadi Dasar Informed consent
Ketentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed consent adalah :
a. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan :
1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b. Permenkes nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis, yaitu :
1) Bab II ( Persetujuan )
a) Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.
b) Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.
c) Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang ditimbulkannya.
d) Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
e) Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2) Bab III ( Informasi)
a) Pasal 4 ayat (1) : Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.
b) Pasal 4 ayat (2) : Dokter harus memberikan informasi selengkaplengkapnya kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.
c) Pasal 4 ayat (3) : Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi.
d) Pasal 5 ayat (1) : Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilakukan, baik diagnostic maupun terapeutik.
e) Pasal 5 ayat (4) : Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.
3) Bab IV ( Yang berhak memberikan persetujuan)
a) Pasal 8 ayat (1) : Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental.
b) Pasal 8 ayat (2) : Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.
c) Pasal 9 ayat (1) : Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatele), persetujuan diberikan oleh wali / curator.
d) Pasal 9 ayat (2) : Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orangtua / wali / curator.
e) Pasal 10 : Bagi pasien dibawah umur 21 (duapuluh satu) tahun dan tidak mempunyai orangtua / wali dan / atau orangtua / wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).
c. Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu :
1) Pasal 45 ayat (1) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan oleh pasien harus mendapatkan persetujuan.
2) Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
3) Pasal 45 ayat (3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
1) diagnosis dan tatacara tindakan medis;
2) tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3) alternatif tindakan lain dan risikonya;
4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran :
1) Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktek kedokteran didasarkan pada kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
2) Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
3) Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan pasien.
4) Ayat (3) : Pemberian penjelasan dan persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
e. Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Bab V tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum Pasal 22 ayat (1) huruf c yang berbunyi : “Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam menjalankan tugas profesinya berkewajiban :
a) Memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan.
b) Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan”.
f. Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) pada Bab III tentang Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien Pasal 11 yang berbunyi : “Rumah Sakit harus meminta persetujuan pasien (Informed consent) sebelum melakukan tindakan medik”.
g. Penjelasan Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran :
1) Pasal 45 ayat (1) yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a) Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan.
b) Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan oleh bukan pasien dalam hal :
a. Pasien berada dibawah pengampuan ( under curetale );
b. Pasien anak-anak ( belum dewasa );
c. Pasien tidak sadar.
c) Yang berhak mewakili pasien dalam 3 (tiga ) keadaan diatas adalah :
a. Keluarga terdekat antara lain : suami / istri, ayah / ibu kandung, anak-anak kandung, saudara-saudara kandung.
b. Bila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada yang mengantar pasien.
c. Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya maka dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan, penjelasan diberikan langsung kepada pasien ( termasuk anak-anak ) pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar.
2) Pasal 45 ayat (2) : “Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”.
h. KUHPerdata Pasal 1321 bahwa “Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan itu diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
2. Formulir Informed consent di Bangsal Kebidanan dan Kandungan di Rumah Sakit
Formulir Informed consent yang ada dan disediakan di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit berbentuk perjanjian baku yang bentuk serta isinya telah ditetapkan oleh pihak Rumah Sakit. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pengisian dan menjaga terpenuhinya standar baku suatu informed consent, sehingga dapat menjadi alat bukti yang kuat apabila timbul sengketa. Formulir informed consent yang ada di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit berisi :
a. Kop pernyataan persetujuan atau penolakan tindakan medis;
b. Identitas yang menandatangani persetujuan tindakan medis yang terdiri dari:
1) Nama;
2) Umur/jenis kelamin;
3) Alamat;
4) Bukti diri ( KTP / SIM ).
c. Diagnosis pasien yang akan dilakukan tindakan medis;
d. Tindakan medis yang akan dilakukan;
e. Pernyataan yang menerangkan bahwa pihak pasien yang menandatangani persetujuan telah mengerti dan memahami penjelasan dari dokter mengenai:
1) Diagnosis;
2) Tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan (purpose of medical procedure);
3) Tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (contemplated medical procedure);
4) Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi (risk inherent in such medical procedure);
5) Alternatif tindakan medis yang tersedia dengan resikonya masing-masing (alternative medical procedure in risk);
6) Prognosis penyakit bila tindakan medis tersebut dilakukan (prognoses with and without medical procedure).
f. Status penandatangan persetujuan tindakan medis yaitu :
1) pasien sendiri; atau
2) istri / suami / anak / ayah / ibu pasien.
g. Identitas pasien yang akan dilakukan tindakan medis, terdiri dari :
1) Nama;
2) Umur/ jenis kelamin;
3) Alamat;
4) Bukti diri ( KTP / SIM );
5) Tempat dirawat yaitu ruang atau bangsal, kelas;
6) Nomor rekam medis.
h. Keterangan yang menyatakan bahwa :
1) pihak penandatangan persetujuan menyatakan setuju atau menolak tindakan medis yang akan dilakukan kepada pasien; dan
2) informed consent dibuat dengan kesadaran penuh dan tidak dibawah paksaan.
i. Nama terang dan tanda tangan dokter yang memberikan penjelasan informed consent;
j. Nama terang dan tanda tangan pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis;
k. Nama dan tandatangan saksi-saksi sebanyak 2 (dua) orang.
BAB III
PEMBAHASAN
1. PROSEDUR TETAP DALAM PENGAMBILAN TINDAKAN MEDIS
Sebelum dokter melakukan tindakan medik, dokter berkewajiban untuk memberikan informasi tentang jenis penyakit yang diderita pasien dan tindakan medik yang akan dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien serta risiko yang mungkin timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya.
Prosedur tetap dalam pengambilan tindakan medis yang bersifat tetap dan mengikat adalah adanya persetujuan pasien untuk pengambilan tindakan medis. Penerimaan dari pasien tersebut dituangkan dalam bentuk persetujuan pengambilan tindakan medis (informed consent). Formulir persetujuan tindakan medis ini pada umumnya telah disusun sedemikian rupa sehingga pihak dokter / rumah sakit dan pihak pasien tinggal mengisi kolom yang disediakan untuk itu setelah menjelaskan secara lisan kepada pasien atau keluarga pasien.
Karena informed consent merupakan perjanjian untuk melakukan tindakan medik, maka keberadaan informed consent sangat penting bagi para pihak yang melakukan perjanjian pelayanan kesehatan, sehingga dapat diketahui bahwa keberadaan informed consent sangat penting dan diperlukan di Rumah Sakit.
Yang menjadi permasalahan adalah apakah isi dari formulir informed consent itu sudah memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Menurut Guwandi, Informed consent paling tidak mengemukakan 4 komponen yang terkandung, antara lain :
1. Pasien harus mempunyai kemampuan (capacity or ability) untuk mengambil keputusan;
2. Dokter harus memberi informasi mengenai tindakan yang hendak dilakukan, pengetesan, atau prosedur, termasuk didalamnya manfaat serta risiko yang mungkin terjadi;
3. Pasien harus memahami informasi yang diberikan;
4. Pasien harus secara sukarela memberikan izinnya tanpa ada paksaan atau tekanan.
Kepada setiap pasien yang akan dilakukan tindakan medis di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit diberikan informed consent oleh dokter. Setelah terjadi kesepakatan maka akan disodorkan formulir informed consent baik formulir persetujuan maupun penolakan yang berbentuk formulir baku dengan format secara garis besar sebagai berikut :
a. Kop pernyataan persetujuan atau penolakan tindakan medis;
Setiap akan dilakukan tindakan medik, pasien/keluarga yang berhak memberikan persetujuan selalu dilakukan Informed consent. Formulir informed consent yang ada di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit berbentuk formulir perjanjian baku yang telah ditetapkan oleh pihak Rumah Sakit yang terdiri dari 2 macam formulir, yaitu :
· formulir persetujuan tindakan medis; dan
· formulir penolakan tindakan medis.
Formulir ini digunakan setelah pihak pasien yang mempunyai hak menandatangani persetujuan diberikan penjelasan secara mendetail tentang diagnosis penyakit, tindakan yang akan dilakukan, resiko yang mungkin terjadi serta prognosis setelah dilakukan tindakan medik.
Pihak Rumah Sakit dan tenaga medis yang akan melakukan tindakan medis akan menghormati setiap keputusan dari pihak pasien atau keluarga untuk menentukan apakah setuju atau menolak untuk dilakukan tindakan medis. Setelah dilakukan kesepakatan, pasien/keluarga akan disodorkan formulir sesuai kesepakatan yaitu formulir penolakan atau formulir persetujuan tindakan medis.
Identitas pihak pasien yang menandatangani persetujuan tindakan medis yang terdiri dari nama, umur/jenis kelamin, alamat serta bukti diri ( KTP/SIM).
Identitas pihak yang melakukan penandatanganan persetujuan tindakan medis harus lengkap, mengingat apabila terjadi sengketa dibelakang hari maka jelas siapa yang bertanggungjawab terhadap persetujuan atau penolakan tindakan medis tersebut.
Identitas yang telah diisi oleh pihak pasien pada formulir Informed consent di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit sudah cukup lengkap.
b. Pernyataan yang menerangkan bahwa pihak pasien telah mengerti dan memahami penjelasan yang diberikan oleh dokter; yang terdiri dari :
· Diagnosis;
· tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan (purpose of medical procedure);
· tata cara tindakan medis yang akan dilakukan (contemplated medical procedure;
· risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi (risk inherent in such medical procedure);
· alternatif tindakan medis yang tersedia dengan resikonya masing-masing (alternative medical procedure in risk);
· prognosis penyakit bila tindakan medis tersebut dilakukan (prognoses with and without medical procedure).
Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (3) menyebutkan bahwa Informed consent sekurang-kurangnya mencakup :
· diagnosis dan tatacara tindakan medis;
· tujuan tindakan medis yang dilakukan;
· alternatif tindakan lain dan resikonya;
· risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
· prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan ketentuan UU tersebut maka formulir Informed consent yang ada di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit sudah memenuhi persyaratan.
c. Status penandatangan persetujuan tindakan medis; yaitu pasien sendiri, istri, suami, anak, ayah / ibu.
Pihak pasien yang berhak memberikan penandatanganan persetujuan atau penolakan tindakan medis dapat diberikan oleh pasien atau keluarga sebagaimana diatur dalam Penjelasan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 45 ayat (1). Pihak pasien yang berhak
menandatangani persetujuan medis tersebut terdiri dari : pasien sendiri, istri, suami, anak kandung, ayah/ ibu kandung, ataupun saudara-saudara kandung.
Pada kenyataannya karena pada format status penandatangan yang ada pada formulir Informed consent yang telah disediakan di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit hanya menyediakan pilihan : pasien sendiri, istri, suami, anak, ayah / ibu.
Oleh karena itu untuk menyesuaikan dengan penjelasan UU tersebut sebaiknya ditambahkan keterangan bahwa ayah / ibu yang dimaksud adalah orangtua kandung. Perlu pula ditambahkan bahwa pihak yang berhak menandatangani yaitu saudara kandung yang berdasarkan ketentuan UU ini diperkenankan untuk memberikan persetujuan tindakan medis, karena dalam formulir yang tersedia belum dicantumkan.
d. Identitas dari pasien yang akan dilakukan tindakan medis, terdiri dari nama, umur/ jenis kelamin, alamat, bukti diri (KTP/SIM), tempat dirawat yaitu ruang atau bangsal, kelas dan nomor rekam medis.
Penulisan identitas pasien secara lengkap termasuk didalamnya tempat dirawat, nomor rekam medis menjadi prasyarat mutlak persetujuan tindakan medik. Hal ini untuk menghindari kesalahan yang mungkin dapat terjadi apabila identitas pasien tidak ditulis dengan lengkap. Beberapa kasus kesalahan tindakan medis terjadi akibat tidak mendetailnya identitas pasien yang bersangkutan, sehingga tindakan medis dilakukan terhadap pasien yang berbeda. Hal ini dapat berakibat fatal.
Format pengisian identitas pasien yang ada di formulir informed consent yang telah disediakan di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit sudah cukup lengkap dan mendetail dan diharapkan tidak terjadi salah sasaran tindakan medis.
e. Keterangan yang menyatakan bahwa pihak penandatangan persetujuan tindakan medis atau informed consent dibuat dengan kesadaran penuh dan tidak dibawah paksaan.
Sudah menjadi syarat mutlak bahwa adanya keputusan penolakan atau persetujuan terhadap tindakan medis dilakukan dengan sukarela dan tidak dibawah paksaan.
Hal ini berdasarkan KUHPerdata Pasal 1321 bahwa : Tiada sepakat yang sah apabila kesepakatan itu diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
Pihak Rumah Sakit atau dokter berfungsi sebagai pelayan kesehatan sesuai tugas dan kewajibannya. Dokter akan mengusahakan segala tindakan berdasarkan keilmuan dan etika kedokteran yang berlaku. Dokter akan berusaha menjelaskan secara mendetail rencana tindakan medis yang akan dikerjakan dan besarnya manfaat bagi pasien, tetapi pengambil keputusan apakah suatu tindakan medis akan dilakukan atau tidak kepada pasien merupakan hak penuh dari pihak pasien atau keluarganya. Sehingga segala keputusan tersebut merupakan kesepakatan antara dokter dengan pihak pasien dilakukan dalam keadaan sukarela dan tanpa paksaan. Apabila kaidah tersebut dilanggar maka batallah Informed consent yang sudah dilakukan.
Formulir Informed consent yang ada di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit telah memenuhi syarat berdasarkan Pasal 1321 KUHPerdata karena didalam fomulir tersebut menerangkan bahwa pihak pasien dalam memberikan persetujuan dalam keadaan sadar penuh dan tidak dibawah paksaan, sehingga apabila terdapat sengketa antara pihak pasien dengan Rumah Sakit atau dokter yang bersangkutan tidak akan terjadi kesalahan putusan pengadilan.
f. Nama terang dan tanda tangan dokter yang memberikan penjelasan informed consent.
Nama terang dan tandatangan dokter yang memberikan penjelasan Informed consent sangat penting karena apabila terjadi sengketa terhadap pihak pasien nantinya akan dengan mudah memberikan konfirmasi kasus tersebut. Sebaiknya dalam penulisan nama terang dokter dicantumkan dalam formulir Informed consent secara jelas dan lengkap sehingga tidak terjadi kesulitan apabila dibutuhkan konfirmasi.
g. Nama terang dan tanda tangan pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis.
Nama terang dan tandatangan pihak pasien yang melakukan persetujuan tindakan medis sangat penting karena apabila terjadi sengketa nantinya akan dengan mudah memberikan konfirmasi kasus tersebut. Nama lengkap sebaiknya dicantumkan secara jelas pada formulir Informed consent. Pihak yang memberikan tandatangan pada formulir Informed consent adalah pihak yang berdasarkan penjelasan UU Nomor 29 Tahun 2004 Pasal 45 ayat (3) berhak memberikan persetujuan tindakan medis.
h. Nama terang dan tandatangan saksi-saksi sebanyak 2 (dua) orang.
Saksi-saksi yang berhak memberikan tandatangan pada persetujuan tindakan medis berdasarkan Permenkes Nomor 585 Tahun 1989 Pasal 4 ayat (3) adalah saksi dari pihak keluarga dan saksi seorang perawat atau paramedis lainya. Dalam hal ini saksi yang tercantum di formulir Informed consent di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit belum menerangkan siapa saja saksi tersebut.
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan apabila terjadi sengketa dibelakang hari, maka sebaiknya dicantumkan secara jelas siapa saja yang berhak menjadi saksi. Adanya saksi yang salah satunya perawat atau paramedis lain dari Rumah Sakit sangat diperlukan untuk memperkuat kesaksian di Pengadilan apabila terjadi sengketa.
Dari data diatas, secara umum formulir informed consent yang terdapat di Bangsal Kebidanan dan Kandungan Rumah Sakit telah memenuhi unsur pokok yang harus terkandung dalam sebuah informed consent sebagaimana diatur dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Pemenkes Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik, Pasal 1320 dan Pasal 1321 KUHPerdata.
Namun berdasarkan Penjelasan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (1) angka 3, dan Permenkes Nomor 585 Tahun 1989 Pasal 4 ayat (3), terdapat beberapa hal yang perlu ditambahkan pada formulir tersebut yaitu :
1. Yang berhak mewakili pasien dalam menandatangani informed consent adalah suami, istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung dan saudara-saudara kandung. Pada kenyataannya pilihan status penandatangan pada formulir informed consent yang disediakan dalam formulir hanya pasien sendiri/istri/suami/anak/ayah/ibu. Untuk itu perlu adanya tambahan pilihan status penandatangan dalam formulir yaitu saudara kandung serta keterangan bahwa ayah / ibu yang dimaksud adalah ayah / ibu kandung agar sesuai dengan ketentuan Penjelasan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (1) angka 3.
2. Dalam formulir yang telah disediakan perlu disebutkan siapa saja yang berhak menjadi saksi. Adanya saksi yang salah satunya perawat atau paramedis lain dari Rumah Sakit sangat diperlukan untuk memperkuat kesaksian dipengadilan apabila terjadi sengketa dengan pihak pasien.
2. TINJAUAN PELAKSANAAN PERSETUJUAN TINDAKAN MEDIS YANG ADA DI RUMAH SAKIT
Dalam merawat pasien di Bangsal Kebidanan dan Kandungan, seperti bagian-bagian yang lain, dalam rangka menegakkan diagnosis dan terapi terhadap pasien maka dilakukan tindakan medis.
Bagian ini ditunjang oleh tenaga-tenaga dibidang kesehatan antara lain dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan, dokter umum yang sedang menjalani pendidikan spesialis, dokter muda, perawat, serta tenaga lainnya non perawat untuk menjalankan pelayanan sebaik-baiknya bagi pasien.
Pelaksana tindakan medik di bagian ini adalah dokter spesialis Kebidanan dan Kandungan serta dokter umum. Hal ini didasarkan pada Surat Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia (The Indonesian Medical Council) yang mengeluarkan Surat Tanda Registrasi Dokter (STR) dan dikuatkan oleh keputusan Perhimpunan Dokter Spesialis Kebidanan dan Kandungan bahwa setiap dokter umum yang sedang menempuh pendidikan Ilmu Kebidanan dan Kandungan memiliki kompetensi dalam bidang Ilmu Kebidanan dan Kandungan termasuk didalamnya melakukan semua tindakan spesialistik atas bimbingan/persetujuan dari dokter Konsultan Ilmu Kebidanan dan Kandungan.
Adapun tindakan medis yang dilakukan di bangsal Kebidanan dan Kandungan, antara lain :
a. Pemasangan Nasugastric Tube.
b. Pemasangan Dower Cateter.
c. Tindakan Induksi Persalinan.
d. Tindakan Reduksi atau Terminasi Selektif
e. Tindakan Vacuum Extraksi dan Forceps Extractio
f. Tindakan Curettage pada Abortus.
g. Tindakan Pengguguran dan Curettage dari mola.
h. Tindakan Anestesi.
i. Dilakukan Operasi Hysterektomi
j. Dilakukan Operasi Salpingektomi.
k. Dilakukan Operasi Sectio Caesaria.
l. Operasi untuk melakukan Embriotomi.
m. Operasi untuk melakukan Tubektomi/Sterilisasi dan Vasektomi.
n. Pemasangan AKDR/IUD dan Kontrasepsi Implan (Susuk KB).
o. Biopsy jaringan untuk Patologi Anatomi.
p. Dan lain-lain.
Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 1 huruf a dinyatakan bahwa Informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
· Informasi harus diberikan kepada pasien baik diminta ataupun tidak diminta (Pasal 4 ayat 1).
· Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan (Pasal 2 ayat (2)).
· Apabila tindakan medik dilakukan tanpa adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya, maka dokter dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin prakteknya (Pasal 13).
Di dalam Permenkes tersebut yang dimaksud dengan tindakan medis adalah tindakan diagnostik atau terapeutik (Pasal 1 huruf b).
Berdasarkan ketentuan tersebut, pada dasarnya kewajiban dokter terhadap pasien ada 2 yaitu :
1. Memberikan penjelasan secara lisan terhadap pihak pasien yang meliputi :
a. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis (kemungkinan hasil perawatan) terhadap tindakan yang dilakukan.
2. Terhadap semua tindakan medis yang akan dilakukan terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan tertulis dari pihak pasien dengan menandatangani formulir informed consent.
3. PENGISIAN FORMULIR INFORMED CONSENT
Pengisian formulir informed consent yaitu :
a. Identitas penandatangan informed consent.
Formulir diisi nama penandatangan informed consent, umur, jenis kelamin, alamat, secara lengkap. Akan tetapi selalu ada yang tidak mencantumkan keterangan bukti diri (KTP/SIM) dengan alasan lupa membawa KTP atau tidak memiliki KTP.
Ini bisa menjadi bukti kurang lengkapnya pengisian identitas pihak pasien yang menandatangani informed consent terjadi pada kelengkapan bukti diri (KTP/SIM). Hal ini akan merugikan kedua belah pihak apabila terjadi sengketa dikemudian hari.
Seseorang yang mengaku sebagai pihak yang berhak memberikan persetujuan informed consent apabila tidak dilengkapi dengan bukti diri menjadi kurang kuat sebagai bukti di pengadilan sebab dapat saja terjadi seseorang yang mengaku pihak yang berhak menandatangani informed consent ternyata orang lain yang tidak berhak. Posisi Rumah Sakit dan dokter yang memberikan informed consent menjadi tidak kuat apabila terjadi sengketa, karena telah memberikan kewenangan menandatangani informed consent kepada seseorang yang tidak berhak menandatangani informed consent.
b. Usia penandatangan informed consent lebih dari 21 tahun atau sudah menikah.
Sesuai ketentuan PerMenKes RI Nomor 585/Menkes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 8 ayat (2) bahwa yang berhak menandatangani persetujuan medis adalah pasien dewasa yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah.
c. Diagnosis diisi dengan benar.
Pada formulir Informed consent yang perlu dilihat lagi apa sudah diisi diagnosis dengan lengkap dan benar.
Walaupun hal ini jarang terjadi, mungkin karena kealpaan dokter, tetapi akan berakibat hukum yang berat apabila terdapat sengketa dengan pihak pasien dibelakang hari. Pada pelaksanaannya, secara umum diagnosis telah diisi dengan benar. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku. Hal ini telah sesuai dengan ketentuan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (3).
d. Status penandatangan informed consent terhadap pasien.
Dari pihak penandatangan informed consent dari pasien, sesuai dengan ketentuan Penjelasan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran Pasal 45 ayat (1) angka 3, bahwa yang berhak mewakili pasien dalam menandatangani informed consent adalah diri saya sendiri, suami, istri, ayah / ibu kandung, anak-anak kandung dan saudara-saudara kandung.
Pada prakteknya karena bagian status penandatangan yang telah tersedia pada formulir informed consent yang ada hanya untuk pasien sendiri / istri / suami / anak / ayah / ibu, sehingga terdapat 2 formulir informed consent yang ditandatangani oleh saudara kandung diberikan penambahan tulisan saudara kandung disamping pilihan yang telah disediakan, karena memang secara yuridis saudara kandung memiliki hak untuk mewakili pihak pasien dalam penandatanganan informed consent .
e. Identitas pasien yang akan dilakukan tindakan medis.
Formulir Informed consent yang menjelaskan Indentitas pasien dalam tindakan medis, yaitu :
Telah diisi identitas pasien yang akan dilakukan tindakan medis secara lengkap.
1. nama sesuai dengan nama yang tercantum dalam KTP;
2. umur/kelamin;
3. mencantumkan alamat pasien;
4. nomor KTP;
5. mencantumkan ruangan dimana tempat dirawat.
6. nomor Catatan Medik;
Jika tidak diisi identitas secara lengkap, maka hal ini akan merugikan kedua belah pihak baik pasien maupun pihak dokter / Rumah Sakit. Sebelum dilakukan tindakan medis tentunya dokter sebagai operator seharusnya melakukan pengecekan terlebih dahulu secara mendetail terhadap identitas pasien yang akan diberikan tindakan medis.
Apabila formulir ini tidak diisi dengan lengkap dapat terjadi kesalahan target (pasien) yang seharusnya dilakukan tindakan medis, yaitu :
a. dapat berakibat fatal karena akan terjadi kekeliruan sasaran (pasien yang seharusnya dilakukan tindakan medis). Mengingat pentingnya identitas yang ditulis secara lengkap untuk menghindari kekeliruan sasaran maka seharusnya formulir ini diisi dengan lengkap.
b. Kerugian yang kedua, akan dialami oleh pihak dokter / Rumah Sakit apabila terdapat sengketa dengan pihak pasien karena dokter atau Rumah Sakit tidak dapat membuktikan bahwa pasien yang akan dilakukan tindakan medis adalah pasien yang tepat (tidak salah sasaran).
f. Nama terang dan tandatangan dokter dan pihak pasien yang memberikan dan menerima informed consent .
Dalam kolom yang membuat pernyataan, harus dicantumkan nama terang pihak pasien penandatangan informed consent. Hal ini jangan sampai merupakan kealpaan (lupa), karena akan melemahkan posisi pihak dokter / Rumah Sakit apabila terjadi sengketa dikemudian hari, dimana alat bukti berupa formulir informed consent menjadi kurang kuat akibat tidak jelasnya identitas yang menandatangani informed consent dari pihak pasien.
g. Nama terang dan tandatangan saksi.
Pada kolom saksi dengan mencantumkan nama terang dan tandatangan saksi, dengan menyertakan (melibatkan saksi) dalam pelaksanaan informed consent. Hal ini sesuai dengan Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 4 ayat (3) bahwa penandatangan informed consent harus melibatkan saksi. Keadaan tersebut akan merugikan pihak dokter maupun Rumah Sakit apabila terdapat sengketa dengan pihak pasien dikarenakan lemahnya bukti informed consent yang telah dilakukan akibat ketiadaan saksi terkait. Saksi merupakan satu komponen yang sangat vital didepan Pengadilan karena keterangan saksi inilah yang akan memperkuat kebenaran atau kesalahan dalam pelaksanaan informed consent.
h. Nama terang dan tandatangan perawat / tenaga medik lain sebagai salah seorang saksi.
Dalam melibatkan perawat / tenaga medis lain sebagai saksi, juga sesuai dengan Permenkes RI Nomor 585 Tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 4 ayat (3) yang berbunyi : “Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat dengan didampingi oleh seorang perawat/paramedis lainnya sebagai saksi”. Apabila terjadi sengketa, pihak dokter maupun Rumah Sakit menjadi pihak yang lemah akibat ketiadaan salah seorang saksi dari perawat / paramedis lain yang menguatkan keterangan dokter.
Contoh persiapan operasi besar.
Pada persiapan manual Histerektomi yang perlu dilakukan adalah :
1. Persiapan pada pasien mengenai komplikasi laparotomi, efek psikologis, dan seksual yang berhubungan dengan histerektomi. Mintalah informed consent.
2. Melakukan sitologi servikal dan tes kehamilan sebelum operasi.
3. Jika terdapat perdarahan abnormal, perlu dilakukan kuretase fraksional.
4. Persiapan darah untuk transfusi jika terjadi perdarahan berat intraoperatif.
5. Untuk mencegah cedera ureter intraoperatif sebaiknya dilakukan pemeriksaan pada traktus urinarius. Dapat pula dilakukan ultrasonografi ginjal. Akan tetapi, jika terdapat fibroid besar, tumor adneksa, atau endometriosis ekstensif diindikasikan pemeriksaan pielografi intravena.
6. Sebaiknya, pasien mengkonsumsi makanan lunak atau lebih baik lagi makanan cair 24 jam sebelum operasi.
7. Jika terdapat konstipasi usus, sebaiknya dikosongkan pada malam hari sebelum operasi.
8. Untuk mencegah infeksi postoperatif, vagina dan serviks harus dibersihkan serta didisinteksi. Selain itu, berikan juga antibiotika profilaksis.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Tanggungjawab Rumah Sakit dan Dokter terhadap pasien berdasarkan informed consent dalam pembedahan di Kamar operasi Rumah Sakit adalah dalam bentuk pemberian ganti rugi kepada pasien dan pemberhentian dokter secara tidak hormat sebagai Ketua Tim Operasi.
2. Kendala yang dihadapi Rumah Sakit dalam melaksanakan tanggung jawab terhadap pasien berdasarkan informed consent dalam pembedahan di Kamar operasi meliputi pihak yang bertanggungjawab terhadap pasien setelah pembedahan dilakukan, tindakan perawatan oleh dokter atau paramedis lainnya baik di Rumah Sakit maupun Rumah Sakit lainnya, tuntutan ganti rugi yang besar serta kekurangan tenaga sebagai Ketua Tim Operasi apabila dokter dipecat dengan tidak hormat karena melaksanakan pembedahan tanpa informed consent.
3. Upaya Rumah Sakit dalam mengatasi kendala tersebut adalah dengan jalan menyertakan berkas informed consent dan berkas lainnya setelah perawatan pasien dan setelah pasien meninggalkan Divisi Bedah Sentral, memberikan pengertian kepada pasien dan keluarganya mengenai keluhan dan besarnya ganti rugi yang dituntut berdasarkan informed consent serta tidak melakukan pemecatan terhadap dokter Ketua Tim Operasi hanya karena melaksanakan pembedahan berdasarkan informed consent.
B. Saran
1. Sebelum terhadap pasien dilakukan pembedahan, sebaiknya ditanda tangani terlebih dahulu perjanjian antara Rumah Sakit dan pasien yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban pasien yang timbul akibat dilaksanakannya operasi terhadap pasien, selain Persetujuan Operasi Umum, sehingga apabila operasi gagal yang mengakibatkan pasien semakin buruk keadaannya sampai pasien meninggal dunia, baik Rumah Sakit maupun pasien telah mengetahui hak dan kewajiban masing-masing termasuk batas besarnya ganti rugi yang dapat dituntut pasien kepada Rumah Sakit.
2. Sebagai unit pelayanan masyarakat, sebaiknya Rumah Sakit menyusun standar pelayanan medis yang menjadi standar baku pelayanan di Rumah Sakit, dimana apabila Rumah Sakit tidak melaksanakan pelayanan sesuai standar pelayanan medis tersebut maka pasien dapat mengajukan tuntutan ganti rugi kepada Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham, Gary F., Gant, Norman F, dkk. Obstetri Williams Vol.2, Ed: 21. EGC: Jakarta . 2004.
2. Heni Puji Wahyuningsih., Etika Profesi Kebidanan sebuah pengantar cetakan ke-3, Yogjakarta, penerbit Fitramaya, 2006.
3. J. Guwandi, Dokter, Pasien dan Hukum, Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2003
4. L.D Winahyu Ratna Winahyu., SH.,dkk. Buku Ajar Hukum Kedokteran, 2005.
5. Manuaba, Ida Bagus Gede. Ilmu Kebidanan, Penyakit kandungan & Keluarga Berencana untuk Pendidikan Bidan. EGC: Jakarta . 1998.
6. Prawirohardjo Sarwono., Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehanan Maternal dan Neonatal, yayasan Bina Pustaka Jakarta, 2006.
7. S. Pitono., dkk. Etik dan Hukum di Bidang Kesehatan; Surabaya , Komite Etik Rumah Sakit, RSUD Dr Soetomo, 2001.
8. S. Suprapti Ratna. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo Jakarta, 2001.
9. Wiknjosastro, Hanifa., dkk. Ilmu Kebidanan. Ed:3. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta. 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar